Selasa, 29 September 2020

Mimpi Baik


Hai kalian masih ingat aku? Iya aku Dyra yang itu haha. Saat ini aku sudah lulus kuliah, dan memutuskan untuk merantau ke Malang, sekarang aku seorang penulis. Aku gak tahu kenapa harus pindah ke Malang, tapi saat aku izin ke orang tua, aku bilang kepada mereka kalau aku ingin menjadi anak yang mandiri. Namun sekarang aku sedang berada di Jakarta. Aku disini untuk mengunjungi orang tua ku, karena sudah 4 tahun aku tidak pulang, dan sekaligus untuk mengunjungi beberapa tempat yang dulunya sering aku datangi, seperti sekarang ini, aku sedang berada di salah satu cafe yang tidak jauh dari kampus ku dulu. "Maaf mba ini pesanan nya" salah satu waiter datang menghampiri meja ku sambil tersenyum ramah, dengan membawa pesanan favorit ku. Moccha latte. Tidak banyak yang berubah dari cafe ini, yang berbeda hanya barista dan pekerjanya, saat dulu teman-teman ku yang bekerja disini, sekarang mereka sudah berhenti, dan tentu saja mereka sudah mendapatkan pekerjaan sesuai keinginan mereka.

 

Hi Jakarta.... Apa kabar? Sudah lama rasanya aku meninggalkan kota ini dan berharap, bahwa aku dapat melupakan semua hal manis, yang pernah kami jalani saat itu. Semua hal disini mengingatkan ku tentang dia. Dan saat aku rindu, aku hanya dapat menulis ini, berharap dia tahu, bahwa aku sedang tidak baik-baik saja dengan perpisahan ini, dan nyatanya langit pun bersedih, saat kamu meninggalkan ku sendiri di sini. Ntah siapa yang harus disalahkan, apakah aku yang masih belum bisa mengikhlaskan mu, atau takdir yang terlalu jahat padaku hingga dia tak mau melihat ku tersenyum" Itulah kata-kata yang kutuliskan diatas lembar tulisanku. Sudah hampir empat tahun, rasa itu masih ada, sepertinya ia enggan untuk pergi, mungkin ia merasa kisah nya belum selesai atau mungkin juga ia belum mampu meninggalkan pemiliknya, ntah lah aku sendiri juga kurang tahu apa maksudnya, yang pasti rasanya begitu menyiksa ku. 

Saat aku sedang menikmati minuman pesanan ku, aku melihat seseorang dengan gaya yang sama seperti Naresh dulu, iya Naresh. Kalian masih ingat kan dengan dia? Manusia yang penuh dengan kejutan dan terlihat menggemaskan dengan segala tingkahnya untuk menghormati ku. Lalu dia melihat sekeliling untuk mencari tempat duduknya dan dia memilih tempat duduk dibelakang ku. Persis. Untungnya tidak lama kemudian Anna datang. Astaga aku merindukannya sekali. Aku memang sudah janjian dengannya untuk kesini. Lalu dia menghampiri ku dan memelukku, banyak sekali yang berubah darinya, dia terlihat lebih merawat dirinya dibanding saat kuliah dulu.

“Astaga An, kamu berubah bangett” kataku dengan hebohnya.

“Yaampun kamu kemana aja si Dyr, lama banget ga kesini” Balasnya tak kalah heboh.

“Yaudah kita duduk dulu aja gimana? Kamu udah pesen?” Kataku mengakhiri kehebohan kami.

“Udah kok. Jadi kamu baru kesini lagi, setelah 4 tahun hilang tanpa kabar. Kamu ngapain dan kemana aja selama ini?” Tanya Anna mulai mengintrogasi ku.

“Aku sekarang jadi penulis An, ya lumayan deh. Tapi aku mutusin buat pindah ke Malang” Kataku menjelaskan.

“Kamu jauh-jauh ke Malang cuma buat nulis? Emangnya di Jakarta gak bisa?” Tanya nya heran.

“Maaf mba, ini pesanan nya” Kata waiter yang datang ke meja kami berdua.

“oiya, makasih mba” Kata Anna menyahut.

“Gak gitu An, hitung-hitung aku juga pengen jadi anak yang mandiri” Lanjut ceritaku kepadanya.

“Halah… mandiri apa gak bisa move on sama Naresh?”

“Apa si kamu, mulai deh ngaconya. Kalau kamu sekarang ngapain aja An?” Tanya ku mengalihkan obrolan.

“Aku kerja di PH gitu, ya lumayan cocok deh kerjaannya sama aku.”

“Wah bagus dong, dari dulu kamu selalu suka kerja di bidang content creator gitu kan?”

“Eh Dyr, nanti dulu deh itu yang dibelakang kamu Naresh bukan sih? Atau kamu juga janjian sama dia?” Tanya dia yang tiba-tiba saja fokus melihat kebelakang ku.

“Eh gak… gak, tadi bahkan aku kaget banget pas liat orang itu masuk. Gayanya bahkan cara dia jalan mirip banget sama Naresh, tapi aku juga ragu buat nyamperin. Tapi untungnya kamu dateng” Kata ku menjelaskan.

Tiba-tiba saja Anna berdiri dan berjalan kearah orang itu

“Maaf mas, Naresh bukan ya?” Tanya Anna kepada orang itu

Lalu orang itu melepas earphonne nya dan melihat ke arah Anna

“Naresh? Maaf mba, salah orang” Kata laki-laki itu. Lalu Anna kembali ke meja kami.

“Bukan ternyata Dyr” Kata Anna setelah sampai dimeja kami.

“Untung yang ngomong bukan aku. Jadi gak malu malu amat” Kataku sambil tertawa kecil.

“Yeh, masih untung aku nanya daripada kamu jadi penasaran gak jelas” Jawabnya dengan nada sedikit kesal

“waw, oke, makasih loh atas kebaikannya” Balasku yang tidak kalah kesal dari dia

 

Lalu setelah itu banyak yang kami bicarakan sekaligus mengingat-ingat saat kuliah dulu, dan akhirnya kami memutuskan untuk ke Kampus untuk melihat-lihat dan nostalgia.

“An ke ruangan siaran yuk, mau liat aku”

Kami berdua segera ke lantai 3 dimana ruangan siaran tersebut berada.

“Kamu itu lucu ya Dyr, dulunya penyiar radio kampus, penyiar favorite lagi. Terus tiba-tiba sekarang jadi penulis” Kata Anna.

“Aku juga awalnya bingung, tapi setelah mikir panjang dan ngelakuin banyak hal di Malang, aku mutusin buat jadi penulis. Kayaknya sekarang aku lebih nyaman didepan laptop berjam-jam, daripada didepan alat siaran lagi. Yaa ibaratnya udah selesai masa ngomong-ngmongnya.” Kata ku menjelaskan.

“Kamu itu sekarang kalau ngomong sok tahu banget ya Dyr hahaha, mentang-mentang udah jadi penulis” Kata Anna meledek ku.

Tempat siaran disini benar-benar tempat yang memiliki banyak kenangan, selain kenangan aku sebagai penyiar di kampus, disini tempat pertama kali Naresh menghampiri ku untuk mengajak aku pergi makan.

“Kamu tau ga An? Ditempat ini, pertama kali Naresh ajak aku pergi” Kataku tiba-tiba.

“Kamu masih belum bisa ngelupain dia ya?” Tanyanya.

Respon ku saat itu hanya diam, aku juga bingung mau menjawab apa. Bukan bukan, aku bukan bingung, hanya saja aku tidak ingin Anna tahu yang sebenarnya. Bahwa aku 4 tahun menghilang, hanya untuk Naresh. Namanya juga manusia, suka malu saat mereka berada dibawah.

“Dyr, alesan kamu pindah ke Malang dan balik ke Jakarta lagi karena Naresh kan?” Tanya Anna, tepat pada sasarannya.

“Gak tau An. Aku bingung kenapa bisa gini, padahal aku deket sama dia pun gak terlalu lama, tapi kenapa sakitnya gak ilang-ilang ya? Apa dia terlalu istimewa buat di lupain?” Tanya ku sedih.

“Dyr, kadang kita gak bisa maksain sesuatu yang ternyata emang bukan punya kita. Tapi kita bisa buat iklasin itu semua, kalau kita udah bisa berdamai sama kenyataan. Begitu juga kamu, kamu harus bisa berdamai sama kenyataan kalau ternyata Naresh lebih milih cinta pertamanya, dan ninggalin kamu dengan seribu cerita yang udah dia buat. Nyakitin emang, tapi bukannya itu yang harus kamu jalanin?”

“Aku udah nyoba buat berdamai An, tapi gak bisa”

“Kamu gak berdamai Dyr, kamu menghindar dari masalah. Kamu takut buat kehilangan Naresh, kamu masih gak bisa nerima semua itu.”

“Kamu gak tahu apa-apa An”

“Kamu emang gak pernah cerita sama aku Dyr, tapi buku-buku yang kamu tulis itu ngasih tau gimana keadaan kamu selama ini. Dariawal kita ketemu aku udah tahu kalau kamu itu penulis, dan aku baca semua buku yang kamu buat, semua cerpen yang kamu bikin di blog. Aku baca. Selesaiin apa yang emang seharusnya kamu selesaiin Dyr, jangan lari lagi. Kamu udah terlalu jauh buat lari, sekarang waktunya pulang.”

“Aku selalu ada dirumah kalau kamu butuh aku” Lanjut Anna, sambil jalan pergi meninggalkan aku sendiri. Saat ini pikiran ku kembali kacau, benar kata Anna selama ini aku tidak menyelasaikan masalah apa-apa, aku hanya lari. Aku belum bisa melupakan Naresh sebagaimana mestinya. Setengah dari hatiku masih yakin, cerita kami belum selesai, dan aku akan menunggunya sampai dia datang kembali dan menyelesaikan cerita ini. Lalu aku memutuskan untuk duduk didepan ruangan siaran, aku tidak melakukan apa-apa, hanya duduk, membayangkan semua yang pernah terjadi disini.

“Permisi, boleh duduk disini?” Kata seseorang yang tiba-tiba saja datang. Saat aku menoleh kearahnya, ternyata itu adalah orang yang ditegur Anna saat di cafe tadi.

“Oh, iya boleh kok. Aku juga sekalian mau pergi juga” Kata ku.

“Kak Dyra” Sapanya, lumayan kaget aku, saat dia memanggil namaku karena seingat aku, aku tidak mengenalnya.

“Sorry? Manggil aku?”

“Aku adiknya kak Naresh” Jawabannya yang ini membuat aku lebih terkejut lagi. Ternyata dia adalah adiknya Naresh, pantas saja gayanya tidak jauh berbeda dengan Naresh.

“Sebenernya, selama tiga tahun belakangan ini aku disuruh nyari kakak sama kak Naresh. Hampir setiap hari aku selalu ke cafe berharap kakak dateng, awalnya udah hampir nyerah tapi untungnya hari ini kakak dateng” Katanya menjelaskan.

“Kenapa Naresh nyuruh kamu nyari aku? Kenapa gak dia sendiri aja?” Tanya ku dengan rasa penasaran. Aku benar-benar gak ngerti dengan pikirannya, bagaimana bisa dia lebih memilih meminta tolong kepada adiknya, dibandingkan dia sendiri yang mencari ku.

“Kak Naresh gak bisa nyari kakak, dia cuma ngasih ini ke aku. Katanya kalau aku udah ketemu kakak, aku harus kasih ini.” Katanya, sambil memberikan sebuah kotak berawarna biru dongker, warna kesukaan ku dan juga Naresh.

“Ini apa?”

“Kakak buka sendiri aja, tugas aku udah selesai. Aku pamit ya kak” Lalu dia pergi meninggalkan ku sendiri didepan ruang siaran dengan seribu pertanyaan dikepala ku. Aku memutuskan untuk membuka kotak itu terlebih dahulu, isinya terdapat satu buah flashdisk dan beberapa foto aku dan Naresh, saat itu juga aku nangis kembali. Entah, tangisan yang ini berbeda, aku merasa aku sedang mendapatkan suatu jawaban yang selama ini aku tunggu. Setelah itu aku memutuskan untuk pulang dan melihat isi dari flashdisk itu. “Naresh, sebentar lagi kita ketemu kan?” Tanya ku dalam hati, sekaligus harapan ku, agar aku bisa bertemu Naresh dalam waktu dekat. Semoga.

     Sesampainya dirumah, aku bergegas menuju kekamar dan langsung mengambil laptop beserta flashdisk yang tadi. Saat aku buka isi flashdisk tersebut terdapat satu folder, nama nya DYRA, aku langsung membuka folder tersebut dan melihat satu video, saat aku mulai mem-play video terlihat lah wajah Naresh yang lebih dewasa dari yang dulu. Katanya seperti ini :

“Hai Dyr… Aku gak tau diumur berapa kamu liat ini, tapi yang pasti kamu udah sukses sesuai pilihan kamu. Kamu apa kabar? Aku harap baik. Aku tahu, aku bikin cerita yang buruk buat kita, maaf . Aku ada di Jerman sekarang Dyr. Jadi maaf kalau aku cuma bisa titip flashdisk ini ke adik aku. Oh iya kamu ingat, saat terakhir aku bilang kalau aku masih menyukai mantanku? Itu bohong Dyr. Percayalah semenjak ketemu kamu, aku udah gak suka sama dia lagi. Aku terpaksa bohong, karena aku harus ke Jerman untuk kuliah lagi, aku ragu Dyr buat LDR, karena aku punya trauma tentang itu. Maaf aku egois, aku harap aku bisa ketemu kamu. Aku mau menyelesaikan cerita kita” Lalu setelah video itu habis, aku menangis. Aku merindukannya, sangat merindukannya. Perasaan ku lega saat itu, cerita kita akan selesai. Sebentar lagi.

“Kamu tetap Naresh yang dulu, yang selalu dipenuhi dengan kejutan.” Setelah itu aku segera menelfon Anna, aku memintanya untuk datang kerumahku. Tidak lama Anna datang.

“Kamu kenapa Dyr?” Tanya nya khawatir karena melihat ku masih menangis.

“Sekarang aku tahu Naresh ada dimana An, dia ada Jerman” Jawab ku dengan senang.

“Kok kamu bisa tahu?”

Lalu aku memberikan Anna laptop dan menyuruhnya untuk menonton video tersebut.

“Nanti dulu, kamu bisa gak jelasin darimana kamu dapet video ini” Tanya Anna dengan penasarannya,

“Kamu inget orang di cafe yang kamu tegur? Dia ternyata adiknya Naresh, dia ngikutin kita, dan pas kamu pulang dia nyamperin aku dan kasih kotak ini sama aku. Isinya ada beberapa foto dan flashdisk ini” Jelasku.

“Dan sekarang dia masih di Jerman?”

“Aku mau nyusul dia An” Kataku tiba-tiba

“Hah? Nyusul? Ngaco kamu Dyr”

“Aku serius An. Kamu sendiri yang bilang buat nyelesaiin semua masalah aku. Sekarang aku mau nyelesaiin semua”

“Dyr, aku tanya sekarang dia bikin video ini kapan? Kamu gak tahu kan? Kamu baru liat video ini barusan, dan kamu langsung mau nyamperin dia. Iya kalo perasaan dia masih buat kamu, kalau enggak? Terus ternyata dia udah nikah? Kamu mau ngapain disana?”

“Tapi aku masih yakin An, kalau dia masih ngerasain perasaan yang sama kaya aku”

“Saran aku, kamu samperin dulu adiknya, kamu cari tahu dulu dia gimana sekarang…” Sarannya, namun aku memotongnya.

“Oke aku bakalan samperin adiknya, aku minta nomor nya Naresh abis itu aku langsung berangkat ke Jerman. Dihari itu juga.”

“Astaga Dyra…”

“An, aku cape 4 tahun kaya gini, aku gak mau bikin diri aku sendiri jadi sakit. Jadi tolong jangan halangin aku, ya?”

“Terserah kamu deh Dyr”

     Lalu tidak lama aku terbangun dari tidurku. “Astaga, daritadi itu hanya mimpi” aku melihat sekeliling ku, ternyata aku masih di Malang. Layaknya pertanda, aku segera bersiap-siap untuk ke Jakarta. Hari itu juga, aku ingin memastikan apa mimpiku benar atau tidak. Tidak lama handphone ku berdering dan aku langsung mengangkatnya.

“Halo Rif”

“Astaga Dyra, aku nyariin kamu dari kemarin. Aku khawatir, kita lagi LDR loh ini. Aku gak bisa nyamperin kamu”

“Rif, aku mau ngomong”

“Iya, kenapa Dyr? Kamu sakit?”

“Kita udahan aja ya, maaf”

“Maksud kamu?”

“Kita putus”

“Aku ada salah sama kamu?”

“Gak… gak ini bukan salah kamu, ini salah aku. Aku tahu dari awal aku nerima kamu, itu salah.”

“Aku gak ngerti, kita baik-baik aja selama ini, dan kemarin kamu ngilang gak ada kabar. Terus sekarang tiba-tiba kamu minta putus”

“Kamu inget Naresh yang pernah aku ceritain? Maaf, tapi selama ini aku masih mikirin dia, aku tau aku salah, aku selalu mau ngelupain dia. Tapi aku gak bisa Rif, maaf.”

“Aku gak tau Dyr, apa ini keputusan yang terbaik buat kita atau engga. Tapi kalau kamu merasa apa yang kita lakuin ini salah, aku juga gak bisa berbuat apa-apa. Lakuin apa yang menurut kamu benar. Tapi kamu harus tau satu hal, apa yang selama ini aku rasain ke kamu itu nyata, dan bukan kesalahan sama sekali.” Setelah itu Arif mengakhiri panggilannya, 

"Rif, maaf" kataku, meskipun aku tahu dia sudah mengakhiri panggilannya secara sepihak. Tapi aku pikir, aku memang pantas mendapatkannya. 

         Aku segera membereskan semua pakaian ku. Dan langsung menuju stasiun untuk berangkat ke Jakarta.